Respons
sejumlah orang tua terkait wacana pemerintah membuka kembali sekolah diselimuti
kekhawatiran anak terpapar virus corona (Covid-19).
Para
orang tua mengaku mau mengizinkan anak sekolah jika pemerintah memutuskan
menerapkan new normal atau kehidupan baru di lingkungan pendidikan.
Lisa
(bukan nama sebenarnya), seorang ibu dari dua anak laki-laki berusia 11 tahun
dan 4 tahun di Tangerang, Banten, bahkan belum bisa membayangkan harus
merelakan anaknya pergi ke sekolah.
"Enggak
rela sama sekali. Khawatir pasti dan masih belum rela. Anak kecil, anak SD
disuruh pakai masker. Siapa yang tahu tanpa sepengetahuan gurunya, mereka
tukar-tukaran masker?" ujarnya kepada CNNIndonesia.com melalui
sambungan telepon.
Meskipun
anaknya yang pertama sudah duduk di bangku kelas 4 SD, ia yakin sang anak belum
bisa menerapkan protokol kesehatan tanpa pengawasan.
Ia khawatir dengan
banyaknya jumlah murid dalam satu kelas yang tak berbanding lurus dengan jumlah
guru, aktivitas siswa akhirnya tak bisa dikontrol.
Lisa
bahkan rela membiarkan anaknya yang kedua telat masuk Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) karena takut pandemi membawa petaka. Berdasarkan umurnya, sang anak
seharusnya mulai PAUD tahun ini.
Jika
sekolah harus dibuka kembali, lanjutnya, ia mengatakan pemerintah harus
memastikan kegiatan siswa di sekolah terkontrol. Ini termasuk siswa di jenjang
pendidikan awal.
Hal
serupa diungkapkan Nindi (38), ibu rumah tangga dengan dua anak berusia 10
tahun dan 7 tahun di Bekasi, Jawa Barat. Anaknya yang pertama duduk di kelas 4
SD dan yang kedua kelas 1 SD.
Meskipun
rajin menyampaikan ke kedua anak bahwa pandemi mengharuskan orang memakai
masker dan mencuci tangan, ia tak yakin kedua anaknya bisa menjalankan hal
tersebut di sekolah.
"Ya ngerti di
rumah, tapi kalau sudah masuk sekolah ya namanya anak kecil pasti
enggak betah. Mau bercanda sama teman," ujarnya.
Kendati
demikian, ia sendiri mengaku ingin sekolah kembali dibuka. Hal ini karena kedua
anaknya terlihat lebih efektif belajar di sekolah.
Namun ia baru bakal
mengizinkan kembali sekolah jika situasi corona di lingkungannya mereda. Ia
mengingatkan protokol kesehatan di sekolah juga harus diperketat.
"Sekolah
atau pemerintah mungkin harus nyediain untuk rapid tes. Mau
nggak mau lah harus korban uang pemerintah," tuturnya.
Pihak
sekolah, lanjut Nindi, juga harus memantau ketat orang yang keluar-masuk
sekolah. Pantauan tersebut termasuk kepada siswa, pendidik, penjual makanan di
kantin sampai tamu.
Henry
(41), ayah dari dua anak berusia 14 tahun dan 10 tahun di Tangerang Selatan,
Banten, mengatakan penetapan jaga jarak bisa jadi syarat pembukaan sekolah. Ini
untuk menjamin anak-anaknya tak menjadi pembawa virus ke rumah.
"Mungkin
kelas yang biasa diisi 30 dibagi dua. 15 anak Senin masuk, 15 anak Selasa
masuk. Jadi mereka terbiasa. Lebih muda mengontrol orang yang sedikit daripada
banyak," pungkasnya.
Ia
sendiri rajin memantau situs resmi pemerintah terkait informasi corona. Dia
menilai pembukaan sekolah harus diintegrasikan dengan data kasus corona di tiap
daerah.
Jika
pemerintah memutuskan sekolah dibuka, lanjutnya, harus dipastikan daerah di
wilayah tersebut bukan zona merah.
"Jadi
aku akan pastikan dulu itu zonanya, karena kenapa? Mungkin buat anak-anak
mereka lebih tahan. Tapi ketika pulang ke rumah bisa jadi membahayakan,"
ujarnya.
Sedangkan
Yani (38), seorang ibu dari anak berusia 14 tahun di Jakarta Selatan meminta
sekolah memeriksa betul keadaan kesehatan siswa jika sekolah dibuka. Ia pun
mengaku guru di sekolah anaknya sudah mulai mengutarakan rencana melakukan
pengecekan suhu jika new normal diterapkan.
"Harus
disediakan alat cek suhu, masker buat cuci tangan mereka masuk. Pemerintah
harus siapkan, karena kan sekolah pasti butuh," tuturya.
Kendati
khawatir dengan jumlah siswa di kelas anaknya yang bisa mencapai 36 orang, ia
pun sadar virus tak bisa pergi dengan cepat. Dia sudah menekankan ke anaknya
agar menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Asupan gizi dan vitamin untuk
anak pun kini jadi prioritas utama.
Diketahui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan wacana pembukaan sekolah pada
juli 2020, namun ini hanya bagi daerah yang sudah dinyatakan aman.
Mendikbud
Nadiem Makarim pun menekankan keputusan ini ada di tangan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19. Pihaknya hanya jadi eksekutor dalam penerapan
kebijakan tersebut.
Artikel
ini telah tayang di cnnindonesia.com