Hal ini sejalan dengan Surat Edaran (SE) Gugus Tugas nomor 4 tahun 2020 tentang kriteria pembatasan perjalanan orang dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
"Setiap orang yang berpergian harus menunjukan surat rapid tes kadaluarsa 3 hari dan PCR 7 hari baik di bandara, pelabuhan, atapun cek point termasuk kereta api," ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COvid-19 Doni Munardo.
Lalu apa itu Rapid test?
Rapid test merupakan salah satu tes untuk mendeteksi secara cepat SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Berbeda dengan metode selama ini yang menggunakan real time polymerase chain reaction (RT-PCR) yang mengambil usapan lendir dari hidung atau tenggorokan, rapid test akan dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien positif Covid-19.
Proses pemeriksaan Ini tidak membutuhkan sarana laboratorium pada bio-security level dua. Artinya, lanjut dia, pemeriksaan bisa digunakan di hampir semua laboratorium kesehatan yang ada di semua rumah sakit di seluruh Indonesia.
Doni menambahkan Rapid test sering tidak akurat sehingga perlu dilakukan segera tes PCR. "RT (rapid test) sering tidak akurat. Tes PCR swab 97 persen akurat," ujar Doni dikutip dari detikcom.
Menuliskan perbedaan RT-PCR dan rapid test Covid-19 dari sisi sampel hingga biaya yang dibutuhkan. Berikut adalah penjelasannya sebagaimana dikutip CNBC Indonesia:
Sampel yang digunakan
RT-PCT menggunakan sampel usapan lendir dari hidung atau tenggorokan. Lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus bereplikasi. Sementara itu, rapid test menggunakan sampel darah.
Cara kerja
Virus yang aktif memiliki material genetika yang bisa berupa DNA maupun RNA. Pada virus corona, material genetiknya adalah RNA. Nah, RNA inilah yang diamplifikasi dengan RT-PCR sehingga bisa dideteksi.
Rapid test bekerja dengan cara yang berbeda. Virus corona tidak hidup di darah, tetapi seseorang yang terinfeksi akan membentuk antibodi yang disebut immunoglobulin, yang bisa dideteksi di darah. Immunoglobulin inilah yang dideteksi dengan rapid test.
Simpelnya, RT-PCR mendeteksi keberadaan virus sedangkan rapid test mendeteksi apakah seseorang pernah terpapar atau tidak. Terkait cara kerja, RT-PCR harus dikerjakan di laboratorium dengan standar biosafety level tertentu. Rapid test lebih praktis karena bisa dilakukan di mana saja.
Kurasi
Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute, menjelaskan rapid test bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.
"Data antibodi tidak selalu bersamaan dengan data PCR. Ketika data PCR menunjukkan virus RNA terdeteksi, kadang-kadang antibodi belum
terbentuk," jelasnya.
Kemungkinan false negative ini juga disinggung oleh Yuri.
"Hanya masalahnya bahwa yang diperiksa immunoglobulin-nya maka kita butuh reaksi immunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu karena kalau belum seminggu terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu pembacaan immunoglobulin-nya akan menampilkan gambaran negatif," kata Yuri.
Lama waktu pemeriksaan
RT-PCR jelas membutuhkan waktu lebih lama. Belum termasuk waktu pengiriman sampel karena pemeriksaan virus corona sempat dipusatkan hanya di laboratorium Litbangkes (Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) di Jakarta. Rapid test bisa dilakukan kapan saja dan hanya butuh waktu 15-20 menit untuk mendapatkan hasilnya.
"Untuk skrining di bandara misalnya, rapid diagnostik cukup menjanjikan karena hanya 20 menit," kata Ahmad.
Untuk kebutuhan massive screening dan menemukan lebih banyak kasus, rapid test berbasis antibodi dinilai sebagai pilihan yang tepat.
Biaya Rapid test & PCR
Rapid test diklaim lebih ekonomis dibanding RT-PCR. Dalam sebuah wawancara, Kepala Balitbangkes Siswanto, memberikan perkiraan biaya RT-PCR.
"Per orang rata-rata total unit cost mulai dari ambil spesimen, transport, pemeriksaan PCR sekitar Rp 1,5 juta," ujarnya.