Mereka akan mencari cara agar pembelajaran bisa tetap berjalan. Sebaliknya, guru yang ”biasa-biasa saja” akan selalu mencari-cari alasan saat mendapatkan kesulitan dalam mengajar.
Wasekjen PGRI Jejen Musfah menegaskan, PGRI memastikan bahwa pada prinsipnya kegiatan belajar-mengajar (KBM) harus tetap berlangsung. Apa pun caranya. Bagi guru hebat, PJJ bisa menjadi tantangan untuk mencari cara bagaimana menyampaikan materi pendidikan kepada siswa di rumah. ”Mereka akan belajar secara mandiri melalui berbagai media sehingga menemukan cara-cara terbaik untuk PJJ,” ujarnya.
Menurut Jejen, guru tidak akan mempermasalahkan ada tidaknya jaringan internet dalam PJJ. Bila terpaksa berlangsung dalam kondisi jaringan internet lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, PJJ tetap bisa dilaksanakan. Lewat modal faktual yang ada di daerah masing-masing. Yang terpenting, tanggung jawab mengajar siswa bisa tetap terlaksana.
Meskipun demikian, Jejen mengakui, masih ada guru-guru biasa yang mencari-cari alasan saat mendapatkan kesulitan dalam mengajar. Karena itu, kuncinya adalah kreatif dalam mengajar. Bila memutuskan memakai sistem dalam jaringan (daring) alias online, kepala sekolah wajib memastikan semua guru dan siswa memiliki dan mampu mengakses perangkat teknologi. Bila tidak, bisa mencari alternatif lain.
Jejen mengungkapkan, di berbagai daerah, masih ada guru-guru yang belum melek teknologi. PGRI melalui jaringannya di daerah berupaya memastikan KBM tetap bisa dilakukan. ”Sebagian murni PJJ. Sebagian tatap muka dengan waktu yang dikurangi dan menjalankan protokol kesehatan,” lanjutnya.
Pihaknya selalu berkoordinasi dengan jajaran di bawah untuk memastikan semua sekolah mampu menyiasati situasi yang ada. Apalagi, pemerintah sudah memberikan kelenturan kurikulum dan evaluasi. Tinggal bagaimana sekolah dan para guru kreatif menjalankannya di lapangan.
Meskipun demikian, tetap masih ada aspirasi para guru yang perlu diperhatikan pemerintah. Misalnya memberikan kelonggaran agar dana BOS bisa digunakan untuk membeli kuota internet, membayar guru honorer tanpa syarat NUPTK, dan membeli alat-alat pendukung kesehatan di sekolah. Para guru juga berharap tunjangan profesi tetap diberikan di masa pandemi. Begitu pula THR dan gaji ke-13.
Sekolah Perlu Petakan Siswa
Sementara itu, keluhan-keluhan selama PJJ terus masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan, jam belajar yang lama dan berbagai tugas sekolah yang berat masih dirasakan para siswa. ”Beban guru, siswa, dan orang tua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi,” katanya kemarin. Padahal, PJJ merupakan hal baru bagi anak, orang tua, maupun sekolah.
Berdasar hasil survei yang dilakukan KPAI, sebanyak 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah. Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya. ”Beban orang tua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemendikbud segera memberlakukan kurikulum adaptif yang sudah disederhanakan,” tutur Retno.
KPAI merekomendasikan agar Kemendikbud segera menyederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan. Selain itu, Kementerian Kominfo diminta membuat kebijakan penggratisan internet selama enam bulan ke depan. KPAI juga mendorong sekolah agar memetakan siswa yang bisa melakukan pembelajaran daring, hanya bisa luar jaringan (luring) alias offline, atau bisa daring dan luring. Dengan begitu, sekolah bisa menyiapkan jadwal pembelajaran dan membuat modul untuk anak-anak yang tidak bisa daring. Terutama untuk para siswa SMK yang membutuhkan praktik keterampilan.
Lalu bagaimana pengalaman para guru selama PJJ? Guru SMPN 1 Nagrek Iwan A. Priyana menuturkan, guru dituntut punya inovasi selama PJJ. Iwan menceritakan, pada awal PJJ dirinya melakukan pemetaan kondisi siswa. Terutama terkait dengan fasilitas untuk berselancar di dunia maya. ”Kebetulan dapat arahan dinas Kabupaten Bandung untuk melakukan program guru kunjung,” ungkapnya kemarin.
Seusai pemetaan, Iwan punya banyak informasi tentang kendala siswa. Salah satunya adalah soal sinyal internet. Di wilayahnya banyak sekali pegunungan. Selain itu, ada permasalahan ekonomi yang mengakibatkan tidak tersedianya handphone untuk anak. ”Waktu ujian, saya galang dana dan dibelikan handphone. Satu handphone digunakan bergantian,” ungkapnya.
Untuk pembelajaran biasa, Iwan membuat materi yang dibedakan berdasar kondisi muridnya. Ada materi untuk siswa yang daring penuh, yang kesulitan sinyal atau kuota, yang memiliki handphone tapi digunakan bersama anggota keluarga lain, dan yang tidak memiliki handphone sama sekali. Jadi, dia mengombinasikan pembelajaran online dengan offline.
Kesulitan juga dialami Wilfridus Kado. Guru SMKN 7 Ende itu tak bisa sepenuhnya mengadakan PJJ. Sebab, sinyal internet di daerahnya yang berada di pesisir Pulau Flores, NTT, tak begitu bagus. Selain itu, karena kondisi ekonomi, banyak yang tak punya gawai. Akhirnya dia harus mengunjungi murid-muridnya.
”Waktu ke rumah murid, mereka tidak belajar, tapi membantu orang tua di kebun,” katanya. Frid (sapaan Wilfridus Kado) memaklumi kondisi tersebut. Sebab, anak-anak itu membantu orang tuanya yang kesulitan menjual hasil kebun sejak pandemi merebak. (*)