Menurut pengamat dan praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal, 86% gaji dan tunjangan guru menguasai alokasi anggaran pemerintah. Bahkan beberapa daerah ada yang mencapai 94% untuk kesejahteraan guru. Infrastruktur, kata Nur Rizal, hanya dialokasikan 5%, 3% operasional, 1% pelatihan guru. Sisanya beasiswa dan nongaji lainnya.
Bila dibandingkan dengan negara tetangga, lanjut Nur Rizal, gaji dan tunjangan guru Indonesia jauh berada di atas. Dia mencontohkan Vietnam akokasi pendapatan guru hanya 42%. Sedangkan Finlandia 55% saja dibanding Indonesia.
“Tetapi kualitas murid negara tetangga ini berdasarkan tes PISA jauh di atas rerata Indonesia,” ungkap Nur Rizal dalam diskusi daring.
Seharusnya, lanjut founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini, kualitas siswa Indonesia jauh di atas Vietnam dan Finland. Logikanya, makin sejahtera guru, harus berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan.
Berdasarkan hasil survei service delivery indicator bank dunia menyebutkan nilai bahasa, matematika dan pedagogi guru-guru Indonesia skornya 40. Sedangkan bahasa dan matematika skor 63.
“Dari data tersebut menjadi pengingat bahwa peningkatan kualitas guru di Indonesia merupakan hal krusial karena alokasi gaji yang tinggi,” katanya.
Uniknya, lanjut Nur Rizal, jumlah kekurangan guru di Indonesia terus meningkat sejak moratorium PNS guru diberlakukan mulai 2005. Setiap tahun jumlah guru pensiun berkisar 70-80 ribu.
Di mana jumlahnya mencapai sekitar 1,025 juta di tahun 2020 dan akan terus meningkat hingga 1,33 juta di 2024. Padahal kata Nur Rizal, ratio guru dan siswa Indonesia 1:16.
Sedangkan standar Bank Dunia 1:21. Itu artinya ada kelebihan jumlah guru di Indonesia. Kondisi tersebut menurut dosen di Universitas Gajah Mada (UGM) ini harus segera dibenahi.
Jangan sampai jumlah guru makin banyak, gaji dan tunjangan tinggi tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan.