Berbagai Jenis dan Prinsip Hukuman Bagi Siswa Dalam Dunia Pendidikan, Perlukah!

Berbagai Jenis dan Prinsip Hukuman Bagi Siswa Dalam Dunia Pendidikan, Perlukah!

BlogPendidikan.net
- Hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat  mendidik. Maksudnya dengan adanya hukuman siswa menjadi tahu/faham tentang kesalahan yang dilakukannya, tanpa merampas batas kemanusiaannya.

Dengan kata lain hukuman dari pendidik kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Jadi hukuman harus ada relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin, sifat kemanusiaan, kemandirian dan ketidakragu-raguan.

Misalnya hukuman menghafalkan sebuah teks, membuat puisi, menambah jumlah soal PR, membuat cerpen tentang siswa terhukum dan lain-lain. Pendeknya hukuman itu ada gunanya bagi pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa yang terhukum.
Bukan sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan, menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci siswa terhadap gurunya.

Tokoh  pendidik Ki Hajar Dewantara mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada peserta didik, seorang pendidik/guru harus memperhatikan 3 macam aturan, sebagai berikut:

1. Hukuman harus selaras  dengan kesalahan. 

Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya harus selaras dengan kesalahan. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. 

Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya  selaras.  Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukuman penyiksaan.

2. Hukuman harus adil. 

Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas  kok ada siswa yang hanya duduk-duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut  bekerja.

Maka hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah  sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.

3. Hukuman harus lekas dijatuhkan. 

Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya.  Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa  segera tahu dan sadar mempersiapkan  perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai pedoman  dan pertimbangan para guru/kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan sekaligus  sebagai hakim  di sekolahnya.

Guru/kepala sekolah memang mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak heran akhirnya bak raja di atas tahta, segala perintah, siswa dipaksa menerima dan menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan tidak merugikan anak didik. Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak, sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.

“Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit dan hukuman-hukuman lainnya yang akan merendahkan harga diri siswa tersebut.”

Hendaknya dalam memberikan hukuman menggunakan beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. 

Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar. 
Memberikan komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.

2. Hukuman distandarkan pada perilaku. 

Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan pelakunya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.

3. Menghukum tanpa emosi. 

Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. 

Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif. Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. 

Dalam kondisi seperti ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.

4. Hukuman sudah disepakati. 

Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. 

Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.

Demikian artikel tentang Jenis dan Prinsip Hukuman Bagi Siswa Dalam Dunia Pendidikan, semoga bermanfaat.